HUBUNGAN BURUH DAN PENGUSAHA
Posted by MEDIA INFORMASI BURUH at 2/13/2009 12:57:00 PM . Friday,
February 13, 2009
Buruh, Kata Karl Marx, adalah sekelompok
mayoritas masyarakat yang tertindas akibat
penguasaan faktor produksi dan akumulasi kapital
para kapitalis. Pernyataan Marx setidaknya masih
relevan pada situasi saat ini, apalagi melihat gejolak
yang terjadi antara buruh-pengusaha di tanah air.
Hal ini bisa kita lihat pada setiap tahunnya di
berbagai belahan dunia sering terdengar demonstrasi buruh yang
memperjuangkan haknya.
Pada hakikatnya, ada suatu hukum alam yang terjadi dalam hubungan
antara buruh dan pengusaha. Sejak abad ke 19 sampai sekarang pola
hubungan buruh-pengusaha bersifat konflik yang terus menerus.
Disatu sisi pengusaha akan selalu berupaya terus menerus mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya. Disisi lain buruh pun punya
kepentingan untuk mendapatkan upah yang sebesar-besarnya dari
pengusaha.
Hubungan buruh – pengusaha di zaman ekonomi klasik yang ditandai
dengan rezim ekonomi liberal dimana campur tangan intervensi
pemerintah sama sekali tidak ada, posisi kaum buruh semakin
tertindas, karena pada masa itu buruh adalah dipandang sebagai
salah satu faktor produksi yang kualitas dan kuantitasnya ditentukan
oleh kekuatan Permintaan-penawaran (supply Demand)
Buruh, pada masa kini, pada saat dunia berfahamkan ideologi
kapitalisme modifikasi, yang ditandai dengan adanya campur tangan
pemerintah dalam hubungan buruh-pengusaha, mulai mengakomodir
keberadaan buruh ketempat yang lebih baik. Buruh pada saat ini, di
negara-negara maju, diposisikan sebagai asset perusahaan. Kalau
dulu tujuan perusahaan adalah untuk mendapatkan laba maksimum
maka saat ini tujuan perusahaan yang paling utama adalah
kesejahteraan karyawan. Dengan posisi sebagai asset, buruh
mempunyai daya tawar (bargaining) yang cukup kuat dengan
pengusaha. Apalagi ada kebijakan yang memungkinkan buruh untuk
ikut serta dalam kepemilikan saham. Tentu saja kondisi ini hanya
berlaku di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa.
Bagaimana di Indonesia yang merupakan kelompok negara
berkembang ?, posisi buruh di Indonesia secara faktual masih
dianggap sebagai salah satu produksi . posisi buruh masih tetap lemah
walaupun beberapa instrumen peraturan perundangan telah dibuat
oleh pemerintah. Berbagai kelemahan daya tawar buruh dapat dilihat
dari alotnya pembahasan berbagai bentuk upah yang dengan mudah
ditebak, selalu dimenangkan oleh kepentingan pengusaha. Demikian
juga tuntutan-tuntutan terhadap hak-hak normatif buruh seperti
kesejahteraan dan peningkatan kualitas kerja, hasilnya sering
dikompromikan sesuai dengan keinginan pengusaha.
Dari pengamatan terhadap berbagai gerakan demonstrasi buruh yang
sering terjadi di Kota Batam dan kota lainnya di Indonesia, ada
beberapa kelemahan yang cukup signifikan yang dihadapi oleh
kelompok buruh. Pertama, secara organisasi, kesadaran berserikat
dikalangan anggota buruh masih sebatas ikut-ikutan tanpa mengerti
arti substansi pergerakan buruh, yang ditandai misalnya pengurus
serikat buruh di Indonesia pada umumnya di ikuti hanya pekerja level
terbawah sampai mandor (foreman), dan kondisi ini berbeda dengan
negara tetangga, dimana serikat pekerjanya (union) juga melibatkan
para manajer menengah dan manajer puncak, yang secara intelektual
dan teknis mereka cukup menguasai permasalahan perburuhan dan
perusahaan. Faktor internal lainnya adalah tidak adanya hubungan
dan koordinasi yang harmonis diantara serikat buruh yang ada,
mereka cenderung mempunyai platform perjuangan yang berbeda-
beda jadi ketika satu serikat buruh mengendakan suatu aksi, serikat
buruh lainnya tidak mendukung dan ada kesan merasa diremehkan.
Disisi lain, pengusaha yang memiliki penguasaan modal dan
kekuasaan, melihat perpecahan antara serikat buruh merupakan
suatu yang diharapkan.bagaimana tidak, dalam keadaan kompak dan
bersatu pun, pengusaha memiliki peluang yang cukup besar untuk
memenangkan konflik kepentingan buruh-pengusaha.
Karakteristik serikat buruh di Kota Batam adalah cenderung
lebih mengutamakan jalan mogok daripada menempuh jalan
berunding. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan pengurus
serikat pekerja kurang memiliki pengetahuan yang baik tentang
permsalahan ekonomi dan tentunya filosofi pergerakan buruh. Yang
menjadi masalah adalah sebagian besar pengurus serikat pekerja
tersebut tidak profesional di bidangnya, tidak mempunyai latar
belakang perjuangan serikat bekerja, tidak mempunyai program kerja
dan sasaran yang jelas, tidak mempunyai kemampuan negosiasi.
Banyak kasus-kasus yang terjadi mengindikasikan bahwa
"perjuangan" mereka sangat diragukan untuk kepentingan pekerja.
Sebagian mempunyai muatan politik, sebagian lagi lebih menonjolkan
kepentingan pribadi. Tingkah laku serikat pekerja sekarang ini bukan
saja terkesan menakutkan, akan tetapi dalam jangka panjang dapat
merusak disiplin dan etos kerja para karyawan. Pengalaman para
pengusaha di Amerika Serikat dan Eropa menghadapi perilaku serikat
pekerja seperti itu dalam awal tahun 1970-an adalah menciptakan
teknologi yang sangat sedikit menggunakan tenagakerja. Hal seperti
itu dapat ditiru di Indonesia. Oleh sebab itu, salah satu prioritas
utama ketenagakerjaan sekarang ini adalah pembekalan dan
pemberdayaan para pemimpin serikat pekerja, supaya betul-betul
mempunyai idealisme memperjuangkan kepentingan pekerja,
memahami perjuangan serikat pekerja, mempunyai profesionalisme
dalam mencapai sasaran organisasi, serta dapat menjadi mitra
pengusaha menciptakan hubungan industrial yang harmonis supaya
dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
